Selasa, 29 Mei 2012

Mengapa Engkau Menjatuhkanku, Wahai Sahabatku..?

Oleh: Augusta Prawira Susilo




          Sahabatku, dulu saat SMA kita sering berjalan di jalan perjuangan menegakkan hak-hak rakyat yang mulai terabaikan oleh penguasa yang duduk di singgasana kerajaan hijau nan megah bak raja-raja yang sehari-harinya hanya rapat membicarakan soal perut mereka saja dan memikirkan bagaimana cara memiskinkan rakyat untuk meraup keuntungan dari penderitaan rakyat. Kita dulu berjalan secara beriringan dengan saudara-saudara yang lainnya di medan laga. Curahan keringat dan tenaga telah kita keluarkan dahulu kelak. Dari sampai harus beralari-lari karena dikejar polisi karena dikira provokator para demonstran. Dari terror yang menghampiri kita satu demi satu kita diteror oleh surat kaleng yang isinya pepesan kosong. Namun semua rintangan itu dapat kita lalui dengan kebersamaan kita dalam lingkaran persaudaraan ini wahai saudaraku. Ikatan ukhuwah yang kekal hingga kapanpun. Semoga saja, aku terus berharap.

          Masa-masa pada waktu itu sungguhlah sangat indah dan mengharukan, ketika kita setelah menjalani rutinitas kita, kita dapat berdiskusi dengan teman sejawat kita yang lainnya, perihal kelangsungan pergerakan kita dalam membela hak-hak rakyat. Haru biru romantika perjuangan terasa hangat dan menyatu dengan jiwa-jiwa kita. Seakan-akan ketika ada satu teman kita yang tidak ada hati kita merasa tidak tentram dan serasa ada yang kurang. Ibarat puzzle, ia akan terbentuk apabila kepingan-kepingannya mulai disusun secara rapid an tanpa tertinggal satu pun walau sekecil apapun, karena apabila 1 keping saja tidak ada maka tidaklah lengkap puzzle itu. Itulah ibarat persaudaraan kita wahai sahabatku. Engkau sungguh berarti dan tidak ada yang dapat menggantikannya walau dengan hal-hal apapun. Walau ada yang menawarkan segunung emas untuk dapat digantikan dengan engkau, maka aku akan menolaknya dengan keras. Karena tiada yang dapat menggantikanmu wahai sahabatku.

          Sahabatku, kini kita telah dalam dunia yang sama yaitu Universitas, kita satu kampus namun berbeda fakultas. Kita telah memasuki dunia kampus yang hawa dan ranah yang berbeda. Tidak sama halnya dengan sekolah, ketika sekolah kita ada yang menanggung kita, yaitu orang tua kita. Namun di kampus, kita harus berusaha sendiri dengan usaha dan upaya diri kita masing-masing. Itulah yang akan aku lakukan, aku akan mengupayakan segala potensi yang aku miliki untuk menuju pintu gerbang kesuksesan. Dengan mengikuti organisasi, seminar-seminar, pelatihan, les, dan lain sebagainya yang dapat menunjang keluarnya potensi yang ada dalam diriku. Aku lihat engkau sama halnya denganku, engkau mulai aktif dalam kegiatan organisasi intra kampus yang lumayan besar yaitu BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Aku bangga mempunyai sahabat sepertimu, yang akan melanjutkan perjuangan kita kala waktu di SMA dulu. Akupun sama halnya denganmu, aku mengikuti Organisasi intra kampus yaitu BEM. Kita sudah jarang bertemu dan bercengkrama lagi seperti dahulu. Kita mulai sibuk mengurusi organisasi dan kuliah masing-masing. Namun, aku mengharapkan ada moment dimana kita bisa bertemu dan bernegur sapa, ku harap pikiranmu dan pikiranku sama wahai sahabatku.

          Akhirnya moment yang ku tunggu itupun datang, aku mendapatkan undangan rapat di BEM tempat engkau bernaung sekarang. Tepat pukul 13.00 WIB. aku datang ke dalam forum rapat tepat waktu dan orang-orang telah berkumpul termasuk dengan dirimu, aku sengaja tidak menegurmu karena ingin engkau duluan yang menegurku. Sampai mulainya rapat enkau tidak juga menegurku, aku hanya diam dan mengarahkan senyumanku kepadamu, dank au membalasku dengan tatapan tajam seakan-akan singa yang melihat mangsa didepan mata dan tidak akan dilepas hingga mampu menerkam. Dimulailah rapat, tepat pukul 14.00 WIB. rapat pun dimulai, agenda pembukaan yaitu sambutan-sambutan dari Ketua BEM, aku mendapatkan kesempatan bicara karena aku adalah perwakilan dari BEM fakultas ku, dikarenakan ketuaku lagi keluar kota ada urusan dinas. Setelah sambutan, aku melihat kembali kearah sahabatku, namun raut wajahnya tidak berubah sama sekali, ia tetap saja menatap dengan tatapan tajam. Dimulailah agenda berikutnya yaitu pembacaan laporan pelatihan dan sedikit ada pembacaan Ad/Art dari masing-masing fakultas. Ketika sampai di pasal tentang keanggotaan BEM, aku mengkritsinya. Isinya adalah bahwa anggota BEM itu seluruh mahasiswa boleh siapa saja masuk BEM, namun harus di fakultas itu tanpa mengikuti pelatihan kepemimpinan terlebih dahulu. Aku mengkiritisi, apabila sistem keanggotaan BEM seperti itu, maka tingkat keprofessionalannya akan kesadarannya menjadi anggota akan kurang dan tipis, maka haruslah apabila ingin menjadi anggota BEM ia harus minimal yang akan mengikuti pelatihan kepemimpinan, maka boleh menjadi anggota BEM. Namun di barisan tengah ada yang mengacungkan tangan dan intrupsi, ternyata dia adalah sahabat seperjuanganku dulu, aku tersenyum tipis dan bahagia bisa melihatnya berbicara. Dan ia mulai berbicara ketika itu.

          Sahabatku ini, akhirnya engkau mau untuk berbicara. Namun kata-katanya sedikit membuatku sakit dan bersedih, isi pembicaraannya adalah, “saya kurang setuju dengan orang luar seperti dia, karena ia tidak mengetahui kultural di fakultas kita, ia tidak mengetahui bahwa fakultasnya berbeda dengan fakultas kita, jadi saya usulkan kita tetap saja dengan redaksi awal kita bahwa setiap mahasiswa di fakultas kita siapa saja boleh masuk menjadi anggota BEM. Terima kasih.” Itulah ucapannya yang dia ucapkan kepada forum, yang membuatku sakit tidak tahu harus berkata apa dan membuatku agak down, mengapa engkau menjatuhkanku wahai engkau sahabat seperjuanganku. Rapat telah usai dan selama rapat, aku hanya berdiam diri saja, merenung kenapa engkau dapat berkata seperti itu kepadaku, padahal dahulu kita saling menopang satu sama yang lainnya, tiada kata saling mendahului atau menjatuhkan sahabatnya. Namun sekarang yang terjadi adalah, engkau telah menjatuhkanku didepan umum wahai sahabatku. Setalah para anggota BEM bubar, aku langsung menghampiri dan bertanya kabar, “Apa kabarmu, lama yah kita tidak jumpa ?” dia hanya diam lalu berkata, “Maaf, saya yang sekarang bukan saya yang dulu lagi.” Semakin remuk hatiku mendengar kata-katanya itu. Dan dia langsung bergegas pergi meninggalkanku sendiri. Aku sembari jalan pulang aku menundukkan kepalaku, dan memikirkan maksud dari kata-katanya itu yang ia lontarkan kepadaku.

          Aku akhirnya menemukan pemikiran, bahwa, “Yaah, mungkin ia sedang capek atau sedang banyak pikiran. Jadinya ia seperti itu kepadaku.” Aku berusaha untuk berpikiran positif. Sampailah aku dirumah, dan aku mengambil HPku dan, aku menuliskan SMS untuknya: “ Assalamu’alaikum. Wahai sahabatku yang Insya Allah selalu dalam lindungan Allah SWT. semoga engkau tidak bosan-bosan dalam berjuang di jalan perjuangan ini, karena kalau bukan kita siapa lagi yang akan meneruskan estafet perjuangan ini. Sahabatku, aku berharap kepadamu, engkau masih mengingat kenangan-kenangan indah yang kita ukirkan bersama dengan teman seperjuangan yang lainnya dalam mengukir sejarah peradaban bangsa yang lebih baik. Semoga curahan air mata dan keringat yang mengalir di jalan tidak engkau lupakan wahai sahabatku. Aku sangat menyayangimu sebagai sahabatku sampai kapanpun dan aku sangatlah bangga kepadamu wahai saudaraku. Aku tidak mengharapkan imbalan atau apapun darimu, engkau dapat tersenyum dan sukses adalah kebahagiaan terbesarku. Karena kita adalah saudara.
                                                                                                                           Dari Sahabat Karibmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar